
Bukan sekadar busana, kebaya di Yogyakarta kini menjelma menjadi simbol perlawanan halus—terhadap budaya instan, terhadap seragam modernitas yang mengebiri identitas. Dalam keheningan langkah para perempuan berkebaya menyusuri Malioboro, alun-alun, bahkan sudut kampus, tersembunyi sebuah pernyataan: bahwa anggun bisa jadi radikal, bahwa adat bisa tampil percaya diri tanpa minta validasi.
Gerakan ini tak diorganisir lembaga, tak dipimpin selebriti. Ia tumbuh dari akar, dari perempuan-perempuan biasa yang menolak melupakan. Berkebaya menjadi ekspresi lokal yang bangga—local proudly—yang tidak mencari eksotika, tapi menghidupkan kembali estetika yang dulu dianggap terlalu kuno untuk zaman digital.
Di Yogyakarta, kebaya tidak hanya dikenakan untuk upacara atau pernikahan. Ia muncul di warung kopi, naik motor, masuk ruang kelas, dan duduk di antara gerakan feminis, budaya, dan spiritualitas. Setiap renda, setiap lipatan kain, adalah arsip tubuh—mengisahkan sejarah, kemuliaan, dan luka yang diwariskan.
Ini bukan nostalgia. Ini regenerasi. Berkebaya hari ini bukan soal kembali ke masa lalu, tapi menciptakan bentuk baru dari keberanian: tampil anggun tanpa harus jadi imitasi. Sebab dalam tiap kebaya, ada tubuh perempuan yang berdiri tegak—dengan memori leluhur di kulitnya, dan pandangan masa depan di matanya.
Executive Producer
KALACEMETI PICTURES
Producer
LIANI ANDRIANA
Director
A. IRFAN MUZAKI
Camera Person
Music Director
Editor
A. IRFAN MUZAKI
Unit Manager
LIANI ANDRIANA