
Saat Sinema Kehilangan Harga Dirinya
Bukan cuma jelek—film-film ini secara aktif membusukkan apa itu seni bercerita
Film norak bukan cuma soal selera rendah. Film norak adalah kanker budaya—diciptakan tanpa rasa tanggung jawab, dipasarkan dengan licik, dan dikonsumsi dengan pasrah.
Mereka menyamar jadi “hiburan rakyat”, tapi intinya cuma satu: menertawakan yang lemah, menormalisasi kebodohan, dan menjual emosi murahan pakai efek suara kartun.
Ini bukan sekadar film jelek. Ini film yang menjijikkan—karena tahu dia buruk, tapi tetap diproduksi.
Di era sekarang, banyak film gak dibuat karena ada cerita yang harus diceritakan. Tapi karena ada algoritma yang harus dipuaskan. Judul harus viral. Tema harus picisan. Dialog harus receh. Film jadi konten. Dan konten itu murahan.
Yang penting:
Ada adegan “grepe-grepe lucu”
Ada tokoh “alay tapi baik hati”
Ada punchline “jorok tapi relatable”
Penonton bukan diajak berpikir—tapi dicekoki. Dan setelah muntah, mereka disuruh nonton lagi.
Norak bukan cuma karena tampilan. Tapi karena semuanya dibuat asal-asalan.
Akting yang seperti parodi dari manusia.
Plot yang bergerak kayak sinetron rusak.
Musik yang terlalu keras, terlalu dramatis, terlalu sering.
Sinematografi yang dipaksa cantik, padahal tanpa fungsi.
Film bukan soal keindahan. Tapi kalau kamu gak ngerti kenapa shot itu penting, kenapa karakter itu ngomong seperti itu, maka lo bukan bikin film—lo lagi cosplay jadi sutradara.
Ini yang paling busuk:
Film norak sering menjadikan pelecehan, kemiskinan, dan kebodohan sebagai lelucon. Penonton disuruh ketawa waktu karakter miskin disiksa. Penonton disuruh baper waktu pelaku kekerasan tiba-tiba jadi “cowok baik hati”.
Dan mereka bilang: “Namanya juga film, jangan dibawa serius.”
Tapi film itu bentuk bahasa. Dan bahasa bisa memperkuat stigma. Kalau lo terus jual kekerasan sebagai romansa, kebodohan sebagai kelucuan, dan manipulasi sebagai drama, lo bukan sutradara—lo pedagang racun.
Film norak menjijikkan karena memperlakukan penontonnya seperti anak-anak kecil yang gak bisa mikir. Semua harus dijelaskan. Semua harus dibesar-besarkan. Semua harus dipaksakan lucu atau sedih. Dan orang yang bikin itu semua? Mereka tahu. Mereka sadar.
Tapi mereka tetap bikin. Karena lebih mudah jual mimpi murahan daripada bikin karya jujur.
Film norak akan terus lahir selama kita diam.
Selama kita biarkan pasar memimpin tanpa rasa.
Selama kita takut menuntut kualitas karena “nanti dibilang elit.”
Tapi sinema bukan milik pasar.
Sinema milik manusia. Dan manusia berhak mendapat lebih dari sekadar tawa palsu dan air mata settingan. Karena kalau kita terus diam, suatu hari nanti, satu-satunya film yang tersisa adalah suara kentut dengan laugh track dan filter vintage.
Dan kita akan menyebut itu hiburan nasional.
Bukan cuma jelek—film-film ini secara aktif membusukkan apa itu seni bercerita
Lo bilang ini realita, tapi bahkan kenyataan pun malu liat apa yang lo rekam
Tubuhmu bisa hafal gerakannya. Tapi apa jiwamu juga hafal kenapa kamu bergerak?