Cinema Verité

Telah Mati

Lo bilang ini realita, tapi bahkan kenyataan pun malu liat apa yang lo rekam

Cinema verité, dulunya senjata tajam buat ngebongkar realita. Kamera di tangan jadi mata ketiga—bukan untuk bergaya, tapi buat menyorot luka, ketimpangan, absurditas hidup manusia. Tapi sekarang? Lo liat sendiri. Semua orang bawa kamera mirip tentara bawa senapan, tapi yang mereka kejar bukan revolusi—cuma lighting yang soft dan LUT yang creamy. Mereka sebut itu verité. Bullshit.

Kamera Dulu Mata Rakyat, Sekarang Cuma Alat Pamer

Dulu, cinema verité itu anti-bullshit.


Lo bawa kamera, lo rekam realita mentah—tanpa framing palsu, tanpa acting palsu, tanpa narasi yang ngatur perasaan penonton. Lo serahkan semua ke fakta dan kebisingan hidup. Tapi sekarang? Kamera disetel 24fps, warnanya dimanja color grading sampe kayak iklan parfum. Narasi udah ditulis kayak copywriting. Lo pengen jujur atau pengen aesthetic?

 

Verité bukan soal lo pake lensa prime f/1.2. Verité itu soal lo gak takut nunjukin keburukan.

Estetika Sekarang Jadi Topeng untuk Tidak Bicara Apa-Apa

Lo tau kenapa semua orang betah di visual? Karena di situ gak perlu tanggung jawab.


Lo tinggal shoot suasana pasar dengan slow motion, masukin backsound “ambient ethnic lo-fi reverb”, terus bilang ini “potret kehidupan.”


Padahal lo bahkan gak ngobrol sama satu pun orang di pasar itu. Estetika dipake buat nolong kemalasan intelektual.
Film jadi produk konsumen, bukan ekspresi keresahan.
Mereka takut bicara terlalu keras, takut kehilangan sponsor. Jadilah mereka pembuat film yang sopan, jinak, dan hambar.

Gear Jadi Tuhan, Realita Jadi Figuran

Verité dulu ngajarin kita: lo gak butuh alat mewah buat bicara kebenaran.


Tapi sekarang? Lo dianggap filmmaker baru kalo kamera lo mirrorless 4K, stabilizer segede tiang listrik, dan suara lo bersih kayak iklan gadget. Lo rekam orang miskin, tapi lo pake kamera yang harganya bisa ngasih makan keluarga mereka 2 bulan. Ironi paling busuk.

 

Vertov gak akan bangga. Leacock bakal muntah. Rouch bakal cabut tripod dan mukulin lo pake itu.

Di Mana Esensi? Di Mana Filosofi? Di Mana Nyawa?

Semua orang ngulik teknikal, tapi siapa yang masih mikirin:


Kenapa gue bikin film ini? Apa yang pengen gue ubah? Siapa yang bakal kena dampaknya?


Film bukan soal lo “menang festival.” Film adalah serangan.
Film adalah luka terbuka. Film harus bikin orang marah, sedih, bangun dari tempat duduknya dan mikir: “anjing, hidup gue selama ini kayak gitu ya?”

 

Tapi sekarang? Film jadi pengalaman visual.

 

“Indah ya…”
“Deep banget ya…”


Gak ada yang berubah. Gak ada yang tersentuh. Gak ada yang menampar.

Jangan sebut karya lo verité kalau isinya cuma shot bagus dan musik yang enak. Jangan pake istilah revolusioner buat produk konsumtif. Jangan ngaku bicara kenyataan kalau lo gak pernah denger suara pinggir jalan. Cinema verité sudah lama mati—dibunuh oleh footage slowmo dan filmmaker yang lebih takut kelihatan jelek daripada salah.

 

Kalau lo masih peduli, hidupkan lagi esensinya. Turunkan kameramu dari gimbal, deketin wajah-wajah yang selama ini lo blur karena “gak cocok tone.”


Lihat mereka. Denger mereka. Potret mereka. Lalu diam. Biarkan kebenaran yang bicara.

Related News

KALACEMETI RISET DAN ASET

Jl. Selomerto Madukara #06-07

Jagalan, Selomerto, Wonosobo

Jawa Tengah - 56361, Indonesia

© 2024 Kalacemeti.

KALACEMETI RISET DAN ASET

Jl. Selomerto Madukara #06-07

Jagalan, Selomerto, Wonosobo

Jawa Tengah - 56361, Indonesia

© 2024 Kalacemeti.

KALACEMETI RISET DAN ASET

Jl. Selomerto Madukara #06-07

Jagalan, Selomerto, Wonosobo

Jawa Tengah - 56361, Indonesia

© 2024 Kalacemeti.